REVITALISASI KEBUDAYAAN YOGYAKARTA
DALAM ERA GLOBALISASI
Penulis :
DSKM, Bapeda *
Abstraksi
Kebudayaan menjadi modal pembangunan daerah di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Kebudayaan dapat menjadi motor penggerak dan motivator
dalam pelaksanaan pembangunan di daerah. Pembangunan kebudayaan tidak bisa
lepas dari fenomena globalisasi. Era globalisasi menawarkan banyak kepraktisan,
kemudahan, kebebasan yang memiliki daya tarik besar bagi generasi muda.
Kebudayaan Jawa dianggap memiliki kaidah-kaidah yang justru menjauhkan diri
dari pendukung-pendukungnya. Padahal Yogyakarta memiliki kekayaan kebudayaan
yang diakui oleh dunia internasional. Kebudayaan sebagai salah satu pilar daya
saing daerah memerlukan strategi perencanaan yang berbasis kebudayaan. Dalam
perencanaan berstrategi kebudayaan diperlukan ketahanan budaya, yang mencakup
kemampuan budaya Jawa di Jogja menghadapi ancaman penggerusan baik dari dalam
maupun budaya global.
Pendahuluan
A. Latar Belakang Permasalahan
Banyak faktor yang menentukan daya saing, seperti teknologi, sumber daya
manusia, prasarana, lingkungan, atau budaya. Masalah daya saing bukan hanya
menyangkut industri dan perdagangan. Budaya merupakan salah satu pilar daya
saing daerah yang sangat penting. Budaya yang khas akan menjadi produk yang
memiliki nilai tambah yang tinggi. Ketertarikan suatu masyarakat terhadap
budaya tertentu akan berpengaruh pada peluang yang lain. Budaya yang manakah
yang bisa dijadikan daya saing daerah ?
Dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional terkandung keinginan
untuk mewujudkan masyarakat bermoral, beretika, dan berbudaya. Dalam membangun
peradaban bangsa diperlukan strategi pembangunan kebudayaan. Oleh karenanya
pembangunan kebudayaan merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional
untuk mewujudkan misi tersebut. Misi RPJP nasional bersinergi dengan misi
pembangunan DIY yang ingin mewujudkan DIY sebagai pusat budaya terkemuka 2020.
Membicarakan
kebudayaan, yang manakah yang menjadi sasaran program pembangunan kebudayaan di
Yogyakarta. Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan atas dua
komponen utama: Kebudayaan material dan Kebudayaan nonmaterial. Kebudayaan
material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini
adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk
tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga
mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga,
pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial adalah
ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya
berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
Menurut Edward B. Taylor,
kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut J.J.
Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan
artefak. Wujud ideal kebudayaan
adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan,
dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak
dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di
alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat
tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari
kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para
penulis warga masyarakat tersebut. Aktivitas (tindakan) adalah
wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat
itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial
ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak,
serta bergaul dengan manusia lainnya menurut
pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi
dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan. Artefak
(karya) adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa
hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat
berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Dalam
kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa
dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi
arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Kebudayaan Yogyakarta merupakan
kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di DIY yang berakarkan kebudayaan lama
dan asli serta sebagai hasil interaksi dari kebudayaan lain sebagai pelengkap,
pemerkaya, dan penyempurna.
Berdasarkan definisi kebudayaan di atas, Yogyakarta memiliki modal besar
dalam program pembangunan nasional. Dalam hal kesejahteraan dan kepurbakalaan,
DIY memiliki 365 buah Benda Cagar Budaya, yang terdiri dari kraton, rumah adat,
bangunan kolonial, goa, tempat beribadah, situs kota, benteng, dan lain-lain
yang masing-masing memiliki keunikan dan kelangkaan tersendiri dan 13 Kawasan
Cagar Budaya. Selain itu juga terdapat 30 museum. Dalam hal adat tradisi,
kesenian dan nilai budaya, DIY diperkaya oleh 2863 grup/ormas kesenian, 46
jenis potensi kesenian, 45 buah potensi kesenian, 45 buah sentra industri
kerajinan, dan 32 desa budaya. (Berdasarkan data tahun 1995). Para leluhur
Yogyakarta juga mewariskan nilai-nilai filosofis yang bisa menjadi dasar dalam
setiap tata perilaku kita. Potensi tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa
eksistensi Sultan dan insitusi Kraton masih diakui di tingkat nasional dan
internasional.
Apabila kita melihat kuantitas dari potensi budaya di DIY, dapat dikatakan
bahwa DIY memiliki modal besar dalam pembangunan kebudayaan di daerah. Akan
tetapi, kenyataannya kuantitas dan kualitas pelestarian terhadap warisan budaya
masih belum optimal, apalagi pasca gempa
27 Mei 2006 tingkat kerusakan BCB semakin tinggi, tingkat kesadaran masyarakat
terhadap keberadaan BCB/KCB masih rendah. Belum lagi aset budaya fisik harus
terancam tergusur kepentingan investasi dan ekonomi. Museum sebagai tempat
penyimpanan warisan budaya fisik dan sebagai tempat pembelajaran dan penelitian
wisata bagi masyarakat, ternyata kurang diminati oleh masyarakat lokal. Fasilitasi terhadap apresiasi seni budaya
dari masyarakat belum maksimal, minimnya dana untuk sektor kebudayaan. Wajarlah
jika atraksi-atraksi seni pada ruang-ruang publik masih rendah dan masih
bersifat lokal, belum meng-internasional. Selain itu juga nilai-nilai luhur
budaya belum menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Keadaan umum
di atas, diperparah oleh fenomena globalisasi yang datang bagaikan hantu bagi
pejuang kebudayaan di daerah. Globalisasi
adalah berkurang atau hilangnya batasan negara dalam pertukaran
sukarela lintas batas dan produksi global yang semakin terintegrasi. Globalisasi
diasumsi akan membawa budaya dunia menuju homogenitas. Yang lebih mengherankan
lagi, daya serap masyarakat lokal lebih besar pada budaya yang dibawa dunia
global, daripada daya serap terhadap nilai-nilai lokal.
Globalisasi
dan percampuran dengan budaya lain tidak bisa terelakkan, mengingat posisi
Yogyakarta, sebagai pusat pendidikan DIY didiami oleh masyarakat dari luar
daerah. DIY merupakan kota yang memiliki romantika sejarah, dari klasik hingga
zaman revolusi kemerdekaan, yang meninggalkan kesan mendalam bagi orang-orang
yang pernah datang ke sana. Selain itu DIY menjadi salah satu daerah tujuan
wisata bagi penduduk dunia. Masyarakat Yogyakarta memiliki nilai-nilai
keterbukaan bagi orang-orang asing, sehingga akulturasi budaya sering terjadi.
B. Permasalahan
Suatu kebudayaan dikatakan bernilai
tinggi apabila dia mampu menjawab tantangan yang ada dengan bertanggung jawab. Kebudayaan
tidak diam, tetapi bergerak, tumbuh dan berkembang.
Kebudayaan memang harus memiliki challenge
agar kebudayaan itu hidup, tetapi challenge
harus diimbangi dengan response. Jika
dikatakan bahwa suatu budaya tak boleh dipengaruhi oleh budaya lain diluarnya,
atau dilindungi dari pengaruh globalisasi, maka sama saja, menurut Tom G.
Palmer, menggiring budaya tersebut keambang kehancuran.
Akan tetapi, ketika kebudayaan lain
tersebut justru mengancam peradaban masyarakat lokal, apa kita perlu menyambut
dan merangkul dunia global atau justru kita mengisolasi diri dengan budaya
lain.
Gempuran budaya luar yang lebih kuat daripada
ketahanan budaya masyarakat lokal tentu akan membahayakan eksistensi budaya
lokal. Kalau masyarakat setempat sendiri sudah tidak memiliki daya saring dan
daya tahan agar budaya lokal tetap eksis, mungkinkah kebudayaan Yogyakarta
mampu bertahan dua puluh lima tahun yang akan datang ? Akankah kebudayaan
Yogyakarta menjadi tamu asing yang aneh bagi penduduk Yogya di ruang budayanya
sendiri ? Siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap eksistensi dan
pengembangan kebudayaan lokal ?
Dalam realita sehari-hari kebudayaan
lokal sedang mengalami kondisi mati segan, hidup tidak mau.
II.
Pembahasan
Globalisasi
bukan faktor tunggal melunturnya ketahanan budaya
Fenomena
globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Palmer menggambarkan justru adanya
globalisasilah yang membuat budaya semakin beragam seraya berkembang dan
mengisi satu dengan yang lainnya. Bagi Palmer mereka yang membela keotentikan
budaya biasanya menganggap batas-batas budaya otentik sama dengan batas-batas
territorial. Menutup tulisannya Palmer mengatakan, budaya yang hidup selalu
berubah, proses perubahanlah yang menjadikan budaya sebagai budaya. Sekitar
tahun 420 sebelum Masehi, ahli filosofi Democritus dari Abdera menulis, ”Bagi
orang yang bijaksana seluruh dunia ini terbuka, karena asal jiwa yang baik
adalah seluruh dunia.” Demikian pula bagi orang Jawa di Yogyakarta. Sejarah
telah membuktikan bahwa persentuhan antara budaya satu dengan yang lainnya
justru memperkaya dan melengkapi kebudayaan lokal. Kehadiran budaya lain di
tengah budaya lokal dapat menjadi unsur dinamisasi budaya lokal. Kehadiran
budaya Hindu dan Budha mampu berakulturasi dengan budaya lokal tanpa ada
konflik yang penting.
Realita
sejarah telah membuktikan bahwa kebudayaan Yogyakarta bukanlah kebudayaan asli
yang berdiri sendiri di negerinya, tetapi merupakan ramuan dari berbagai
kebudayaan yang telah di-harmonisasikan ke dalam seluruh aspek kehidupan
berbudaya di Yogyakarta. Seorang ahli tata ruang dan ahli strategi perang telah
mendesign kebudayaan Yogyakarta sedemikian rupa yang dimanifestasikan dalam
bentuk seni pertunjukan, seni rupa, bahasa, seni suara, seni sastra, adat
istiadat, filosofi, seni bangunan, dan sebagainya.
Sesungguhnya
permasalahan pokok dari kebudayaan itu bukan hanya globalisasi, tetapi terletak
pada eksistensi kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan yang berkembang selama ini
dianggap telah meninggalkan banyak rumus aslinya. Faktor-faktor yang
menyebabkan kebudayaan Jawa di Yogyakarta tidak tampil dalam kehidupan
sehari-hari :
a.
Kebudayaan asli dianggap kurang praktis,
b.
Biaya ritual yang mahal dan terlalu banyak perhitungan,
sehingga perlu penyederhanaan lagi.
c.
Banyak aturan dan unggah-ungguh yang belum mendarah
daging di kalangan generasi muda.
Bukanlah
globalisasi yang harus dihindari, tetapi upaya-upaya pembakuan dan modernisasi
yang mengarah pada proses pembunuhan tradisi harus di lawan, karena itu berarti
pelenyapan atas sumber identitas lokal yang diawali dengan krisis identitas
lokal. Menghadapi globalisasi diperlukan sikap arif dan positif thinking, karena
globalisasi juga membawa nilai-nilai yang bisa dipadukan dengan budaya asli.
Perpaduan Nilai-Nilai Kearifan Lokal dengan Nilai-Nilai Modern
Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang yang
harus dimatikan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan
nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi. Dunia internasional sangat menuntut
demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan di
setiap negara. Isu-isu tersebut dapat bersinergi dengan aktualisasi dari
filosofi ”Hamemayu Hayuning Bawana”,
masyarakat Yogyakarta harus bersikap dan perilaku yang selalu mengutamakan
harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan antara manusia
dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah SWT dalam
melaksanakan hidup dan kehidupan agar negara menjadi panjang, punjung, gemah ripah loh jinawi, karta tur raharja.
Hamemayu Hayuning
Bawana dapat direalisasikan dengan Hamemasuh
Memalaning Bumi, yaitu membersihkan atau mengamankan tindakan-tindakan yang
melanggar hak-hak asasi manusia. ”Memalaning
Bumi” itu dapat berupa peperangan, penghapusan etnis, penyalahgunaan obat
bius, penggunaan senjata pemusnah masal, terorisme, wabah penyakit, pembakaran
hutan, dan lain-lain yang membahayakan kehidupan manusia dan alam lingkungan.
Rasio dan kreatifitas Barat dapat bersinergi dengan Hangengasah Mingising Budi, yang menggambarkan upaya yang tidak
berhenti untuk mempertajam budi/manusia sehingga semakin tajam dari waktu ke
waktu. Budi manusia yang terasah akan selalu menghasilkan hal-hal yang bersifat
baik bahkan luhur dalam wujud hasrat sampai dengan perbuatan atau
karya-karyanya. Dalam hal ini diharapkan manusia dapat melahirkan
pemikiran-pemikiran atau hasrat baik atau luhur secara terus menerus guna
disumbangkan bagi kepentingan manusia atau bebrayan
agung termasuk untuk melindungi atau melestarikan dunia seisinya. Etos
kerja dan profesionalisme dapat sinergi dengan filosofi ”Sepi ing pamrih rame ing gawe” (giat bekerja tanpa memikirkan diri
sendiri). Terbangunnya kondisi damai dalam menjalin hubungan dengan
negara-negara lain sehingga tercipta stabilitas keamanan dari tingkat sub
regional, regional bahkan di dunia seyogyanya dicapai dengan aplikasi konsep ”nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”.
Membangun Pusat-pusat
Revitalisasi Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta
masih memiliki desa-desa budaya, yang di dalamnya diperkaya arsitektur
tradisional, upacara ritual, kesenian, barang-barang kerajinan, dan sebagainya.
Untuk menjamin kelancaran kegiatan Pusat Revitalisasi Kebudayaan Jawa di Jogja secara
berkesinambungan tentu diperlukan sumber dana yang tetap. Dalam hal ini pihak
pemerintah, swasta, swadaya masyarakat secara bergotong-royong menyediakan satu
sumber dana secara berkesinambungan dapat di pergunakan untuk biaya yang
diperlukan oleh Pusat Revitalisasi Kebudayaan. Kalau kegiatan dalam proyek
tersebut sudah dapat menghasilkan produksi yang dapat dijual ke pasaran,
hasilnya akan digunakan sepenuhnya untuk membiayai proyek tersebut. Untuk
melakukan revitalisasi kebudayaan membutuhkan media yang bertaraf nasional dan
internasional sehingga bisa meningkatkan peran kebudayaan lokal di fora
nasional maupun internasional, dapat memanfaatkan teknologi komputer untuk
menawarkannya.
Budaya
yang khas dapat menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah yang tinggi,
sesuai dengan perkembangan media. Daya tarik kebudayaan akan berpengaruh pada
daya tarik yang lainnya termasuk ekonomi dan investasi. Pemerintah sudah
selayaknya memperkuatkan daya saing di sektor budaya, dan mempromosikan
industri budaya yang memiliki nilai tambah yang tinggi sebagai penggerak
ekonomi di Yogyakarta. Untuk memperkuat daya saing budaya pemerintah perlu
membangun pusat informasi gabungan untuk pertunjukan seni, pendirian dan
pengelolaan promosi pertunjukan seni, pengembangan tenaga ahli khusus untuk
membesarkan anak yang berbakat seni, menggiatkan sumbangan pengusaha di bidang
seni, sistem sertifikatmhadiah untuk buku dan pertunjukan seni budaya,
peningkatan kegiatan promosi tentang produk budaya.
III. Rekomendasi
Permasalahan utama dari pembangunan
kebudayaan bukan hanya disebabkan oleh globalisasi, tetapi juga menyangkut
kondisi ketahanan budaya masyarakat setempat sendiri yang mengalami stagnasi. Globalisasi
yang tidak terhindarkan harus diantisipasi dengan pembangunan budaya yang
berkarakter penguatan jati diri dan kearifan lokal yang dijadikan sebagai dasar
pijakan dalam penyusunan strategi dalam pelestarian dan pengembangan budaya. Upaya
memperkuat jatidiri daerah dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai budaya
dan kesejarahan senasib sepenanggungan di antara warga. Oleh karena itu perlu
dilakukan revitalisasi budaya daerah dan perkuatan budaya daerah. Upaya
tersebutt direalisasikan melalui langkah-langkah strategis berikut ini:
A.
Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal
1.
Pemahaman atas falsafah budaya Jawa sebaiknya dilakukan
sesegera mungkin ke semua golongan dan semua usia berkelanjutan dengan
menggunakan bahasa Jawa. Demikian pula di lingkungan pemerintahan, dari pusat
hingga RT dan RW.
2.
Pembenahan dalam pembelajaran Bahasa Jawa.
3. ”Plug in” muatan budi pekerti di setiap
mata pelajaran di lingkungan pendidikan.
4. Pengembangan kesenian tradisional perlu
menjadi perhatian para pemangku
kebijakan
5. Pengaitan
kajian-kajian budaya dengan aspek kehidupan kemasyarakatan yang lain, seperti
teknologi, kesehatan, agronomi.
B.
Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
1. Peningkatan
kualitas pendidik, pemangku budaya yang berkelanjutan
2. Pelibatan semua pihak, pemerintah, LSM,
kelompok masyarakat, pemerhati, akademisi, pebisnis.
3.
Penghargaan bagi pemangku, pelaku dan pengembang budaya Jawa.
C.
Fasilitasi dan pendanaan kegiatan kebudayaan (ritual,
kesenian, rehabilitasi Benda Budaya, dan sebagainya) yang berkelanjutan.
1. Pemanfaatan berbagai prasarana yang ada di masyarakat
dan universitas
2.
Peningkatan peran media cetak dan elektronik dan visual termasuk media luar dan dalam
ruangan dalam membuat kondusif pemahaman falsafah budaya Jawa, mempromosikan
seni pertunjukan lokal melalui website.
3. Pejadwalan rutin workshop dan saresehan
falsafah budaya Jawa
4. Penggalangan jejaring antar pengembang
kebudayaan baik di Yogyakarta maupun di luar Yogyakarta.
5. Memberi
fasilitas secara berkelanjutan bagi program-program pelestarian dan pengembangan
budaya.
D.
Penyusunan peraturan perundang-undang untuk melindungi
hasil-hasil karya kebudayaan.
1. Penyusunan
draft hak patent atas karya-karya budaya leluhur, seperti lukisan Affandi, batik, anyam-anyaman, keramik
Kasongan dan sebagainya sebelum diklaim oleh negara lain.
2.
Penyusunan PERDA
yang melindungi aset budaya baik yag berupa ide, perilaku, maupun
fisik.
- Penciptaan tata ruang budaya yang kondusif untuk pengembangan, pelestarian, pewarisan kebudayaan.
Pembangunan budaya yang berkarakter pada penguatan jati
diri mempunyai karakter dan sifat interdepensi atau memiliki keterkaitan lintas
sektoral, spasial, struktural multi dimensi, interdisipliner, bertumpu kepada
masyarakat sebagai kekuatan dasra dengan memanfaatkan potensi sumber daya
pemerataan yang tinggi. Karakter pembangunan budaya tersebut secara efektif
merangkul dan menggerakkan seluruh elemen dalam menghadapi era globalisasi yang
membuka proses lintas budaya (trans-cultural)
dan silang budaya (cross cultural)
yang secara berkelanjutan akan mempertemukan nilai-nilai budaya satu dengan
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar